Ki Hadjar Dewantara, Finlandia & Bisnis Pendidikan

Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya”.

Membaca kutipan Ki Hadjar Dewantara dalam karyanya, Pusara (1940) ini mungkin negara Finlandia akan mengangguk-angguk. Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia mengedepankan humanistik dalam pola pendidikan nasionalnya. Sama persis dengan semangat Ki Hadjar Dewantara. Sementara tak sedikit pakar pendidikan kerap membandingkan keunggulan sistem pendidikan Finlandia dengan Indonesia, yang belakangan selalu dikritik, yakni behavioristik.

Ki Hadjar Dewantara, Finlandia & Bisnis Pendidikan

Behavioristik menekankan teori dan belajar dengan metode stimulus-respon lebih mengedepankan nilai mata pelajaran. Pola ini cenderung menegasikan pembentukan sikap mental dan perilaku. Karenanya, pola Finladia dirasa tepat untuk hadapi tantangan pendidikan saat ini, yakni pergeseran budaya dan kemajuan teknologi informasi.

Tidak berlebihan bila Mendikbud Anies Baswedan berujar kondisi pendidikan di Indonesia sangat ironis. Ketika negara lain menerapkan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu dan sukses meningkatkan kinerja pendidikan mereka.

"Kita sendiri semakin terasing dari pemikiran-pemikirannya (Ki Hadjar Dewantara),” ucap Anies dalam pidatonya yang bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia” dua tahun silam.

Sulit Diterapkan?

Sebenarnya konsep pendidikan yang mengusung nilai humanistik sudah diterapkan, khususnya di lembaga pendidikan usia dini dan sekolah dasar swasta. Bahkan di kota-kota besar sekolah semacam ini mudah ditemukan, tentu dengan harga tak murah.

Sementara itu di sekolah-sekolah negeri, yang gratis, konsep ini dinilai sulit diterapkan, apalagi di jenjang sekolah menengah.

Pertanyaannya, ketika berbagai riset sudah dilakukan, termasuk 'copy paste' konsep Finlandia yang dinilai lebih relevan dituangkan dalam Kurikulm 2013, mengapa konsep lama yang mengusung nilai formal masih dimunculkan? Mengapa Ujian Nasional (UN) masih menjadi momok?

Ya, mungkin kita lupa bahwa diam-diam ada 'kompetisi' antar lembaga pendidikan. Sekolah berlomba menjadi unggulan yang parameternya adalah siswa yang lulus Ujian Nasional. Nilai formal mendominasi, siapa yang meluluskan siswa dengan nilai tertinggi.

Nampaknya sulit bagi kita untuk menutup mata dengan fakta ini, melekatnya 'gengsi' nama sekolah dengan ranah bisnis pendidikan.

Alhasil, jangan kaget bila UN, yang katanya tidak lagi menjadi tolak ukur tunggal kelulusan, prakteknya tetap menjadi momok bagi siswa. Atau jangan-jangan sengaja dijadikan momok atas nama bisnis.

Semoga Indonesia dapat membangun atmosfer pendidikan yang baik, termasuk ranah bisnisnya. Agar dunia pendidikan di Indonesia menjadi pendidikan yang ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
LIKE & SHARE

0 Response to "Ki Hadjar Dewantara, Finlandia & Bisnis Pendidikan"

Posting Komentar