Kisah Bocah-bocah Indonesia di Perbatasan, Jalan Kaki ke Sekolah Melintasi Hutan, Bukit dan Jalan Berlumpur

KETERBATASAN tidak melunturkan semangat anak-anak Indonesia di wilayah perbatasan untuk mengenyam pendidikan. Mereka bahkan sanggup berjalan kaki sangat jauh melintasi hutan dan jalan berlumpur untuk bisa sampai ke sekolahnya.
Seperti dikutip dari merdeka,com, para bocah di perbatasan itu mengenakan seragam lusuh. Warnanya sudah menguning. Tak lagi putih seperti dipakai pelajar di kota-kota besar. Coba tengok ke bawah. Celana sudah tak bisa dikancing. Kaki mereka dekil, hanya sandal butut sebagai pelindung. Boro-boro berpikir beli sepatu.
Yang mereka tenteng hanya kantong kresek. Anak-anak ini tak memiliki tas untuk membawa buku. Alat tulis, buku pun harus berbagi satu sama lain saat belajar.

Kisah Bocah-bocah Indonesia di Perbatasan, Jalan Kaki ke Sekolah Melintasi Hutan, Bukit dan Jalan Berlumpur

Mau tahu bagaimana pelajar ini sampai sekolah? Dengan berjalan kaki. Jarak tempuhnya tentu berbeda-beda. Terjauh ada yang sampai 45 menit. Bayangkan anak sekecil itu harus menembus hutan di pedalaman dengan jalan berbukit. Belum lagi medan berlumpur.
Kisah pilu ini diceritakan oleh seorang guru. Namanya Anggit Purwoto.
Sudah tujuh bulan Anggit mengabdi dari satu tahun masa tugas. Dia ikut program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
SDN 04 terletak di Desa Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Berbatasan dengan Malaysia. Butuh waktu kurang lebih dua hari dari Bengkayang ke desa dengan jalur darat. Jika cuaca buruk tentu sampainya lebih lama lagi.
''Saya sampaikan ke anak-anak untuk fokus belajar jangan pedulikan kondisi. Tetap semangat menatap masa depan. Mereka punya mimpi,'' kata Anggit saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu (2/4).
Di desa itu ada 4 SD, 1 SMP dan 1 SMA. Semuanya berada dalam satu kompleks. Jaraknya tidak terlalu jauh. Untuk SD jam masuk sekolah pukul 07.00 WIB sampai 11.00 WIB. Kadang banyak siswa sampai di sekolah sudah kelelahan.
Anggit sendiri sebenarnya ditugaskan mengajar di SMA bersama dua rekannya. Dua lainnya di SMP. Disayangkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang tak menempatkan para sarjana pendidikan ini di tingkat sekolah dasar.
Tak ada guru tetap di sana. Sering kali kelas kosong. Biasanya, kata Anggit, kebanyakan guru mengajar selama dua minggu dalam sebulan. Sisanya libur. Kondisinya ini tak dipersoalkan karena rata-rata guru dari kota dan sudah berkeluarga.
''Makanya saya berinisiatif, sukarela mengajar di SD,'' kata jebolan Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu. Pria 23 tahun ini mengajar IPA, menulis, baca, hitung dan bernyanyi.
Menurut Anggit, tak hanya siswa, kondisi bangunan sekolah juga memprihatinkan. Namun yang paling dibutuhkan adalah seragam layak dan alat tulis. Total ada 135 pelajar, 59 laki dan 66 perempuan.
''Kondisinya sangat membutuhkan. Ketika pelajaran tidak punya pensil karena kebutuhan pokok mahal,'' ungkapnya.
Waktu belajar siswa juga terbatas. Ketika langit gelap sudah tak ada lagi penerangan. Listrik belum masuk. Panel surya menjadi solusi. Tapi tidak bisa menjangkau seluruh kebutuhan.
Dia berharap pemerintah daerah sampai pusat tergerak. Anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa. Mereka punya hak untuk memperoleh pendidikan layak.
''Perhatikan pendidikan di pedalaman. Ibaratnya 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' benar ada. Tidak hanya di satu pulau saja,'' harap Anggit


Terima kasih telah mengunjungi laman kami dan semoga informasi yang diperoleh bermanfaat

LIKE & SHARE

0 Response to "Kisah Bocah-bocah Indonesia di Perbatasan, Jalan Kaki ke Sekolah Melintasi Hutan, Bukit dan Jalan Berlumpur "

Posting Komentar